Peninggalan Sangkuriang rupanya tercecer ke mana-mana. Tidak hanya ke wilayah timur Bandung, tapi juga ke wilayah barat Bandung. Almarhum Budi Brahmantyo–seorang Dosen Geologi ITB, pernah menuliskan hal ini dalam salah satu esainya yang berjudul Amuk Sangkuriang di Citatah pada tahun 2008.
Budi mencatat, penduduk
sepuh Kawasan Karst Citatah/Rajamandala percaya bahwa bukit-bukit kapur yang
terhampar sepanjang jalan raya Padalarang-Cianjur berasal dari amuk Sangkuriang,
lantaran gagal kawin dengan ibunya (Dayang Sumbi).
Kisah Sangkuriang yang
didokumentasikan oleh Budi dalam esainya tentu saja tidak benar-benar nyata.
Kisah ini masuk kategori mitos.
Mitos dalam kajian ilmu
Semiotika punya fungsi kontrol sosial. Mitos digunakan oleh orang-orang
terdahulu sebagai senjata ideologis, yang diam-diam menyelinap masuk ke
kesadaran kolektif masyarakat Sunda terdahulu.
Pesan moral dari kisah
Sangkuriang yang didokumentasikan Budi dalam esainya adalah, bukit/pasir/gunung-gunung
kapur erat kaitannya dengan sumber daya
di mana masyarakat terdahulu tak bisa hidup tanpanya. Sehingga harus dijaga dan
dilestarikan.
Sebut saja gunung Hawu
yang berarti tempat membuat perapian untuk masak, pasir Pawon yang berarti dapur, gunung Pabeasan
yang berarti bahan makanan untuk hajatan/pesta.
Selengkapnya baca di: Setelah Gunung Hawu tak Ditambang lagi
0 Komentar